Menjadi Relawan Muda Pemberantas HIV/AIDS
Photo : Galuh |
Acara hari pertama bertempat di ruang D201-1 dibuka dengan pembukaan oleh pembina UKK
stopHIVa, ketua UKK stopHIVa dan ketua panitia acara tepat pada pukul 08.15 WIB. Antusiasme akan terlaksananya acara tersebut jelas terlihat dengan banyaknya peserta yang tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa Undip saja, melainkan mahasiswa dari luar lingkungan Undip juga ikut menggali ilmu dan mencari pengalaman di acara tersebut. Sebut saja mahasiswa yang berasal dari Unimus, UNNES, dan Udinus dengan penuh semangat siap berkontribusi untuk menjadi seorang relawan muda pemberantas HIV/AIDS.
stopHIVa, ketua UKK stopHIVa dan ketua panitia acara tepat pada pukul 08.15 WIB. Antusiasme akan terlaksananya acara tersebut jelas terlihat dengan banyaknya peserta yang tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa Undip saja, melainkan mahasiswa dari luar lingkungan Undip juga ikut menggali ilmu dan mencari pengalaman di acara tersebut. Sebut saja mahasiswa yang berasal dari Unimus, UNNES, dan Udinus dengan penuh semangat siap berkontribusi untuk menjadi seorang relawan muda pemberantas HIV/AIDS.
Agenda selama hari pertama berupa pemaparan materi oleh narasumber yang ahli di bidangnya masing-masing. Materi mengenai kesehatan reproduksi remaja dan penyakit menular seksual dijelaskan oleh DR.Dr. Budi Laksono.MHSc. Beliau menjelaskan dengan detail tentang fase-fase remaja dan penyakit menular seksual yang sering diderita akibat perilaku remaja yang berisiko seperti sexual life, NAPZA dan materialism. “Remaja merupakan fase yang paling berisiko karena perubahan faktor psikologis yang memungkinkan mereka melakukan tindakan tidak semestinya hanya karena rasa ingin tahu yang tinggi atau solidaritas kelompok sosialnya,” tutur beliau.
Materi selanjutnya yang tidak kalah menarik disampaikan oleh Verry Adjie (Koordinator Program Kelembagaan & PMTS). Tidak jauh berbeda dengan materi sebelumnya mengenai seluk beluk remaja, Verry Adjie justru lebih menitikberatkan pada fakta sesungguhnya mengenai kasus HIV/AIDS di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Menurut beliau, secara kumulatif dihitung dari survey di seluruh Indonesia, Jawa Tengah menduduki urutan ke-6 dalam tingginya kasus HIV/AIDS. Psikologi remaja dibahas lebih mendalam di materi selanjutnya yang dipaparkan oleh Dewi Fitriani Wisudawati, SKM dengan menggali karakteristik seorang remaja. Sebagai materi penutup, Bapak Dwi Yunanto memberikan materi yang merupakan inti dari terlaksananya acara tersebut, yaitu teknik dasar fasilitasi partisipatif. Teknik dasar tersebut ditujukan agar para peserta mampu menjadi fasilitator yang handal dengan memahami perannya masing-masing dalam fasilitasi. Tidak hanya pemberian materi, simulasi menjadi seorang fasilitator langsung ditunjukkan untuk memberikan gambaran kepada peserta bagaimana kita berhadapan langsung dengan masyarakat dalam pemberian fasilitasi.
Acara Training Fasilitator tidak sekedar kegiatan seminar saja, melainkan aksi nyata langsung ditunjukkan pada hari kedua yaitu hari Minggu (2/6). Cuaca yang begitu tidak bersahabat tidak menyurutkan semangat peserta untuk mengikuti agenda acara berikutnya. Peserta langsung diterjunkan untuk menjadi fasilitator di yayasan Sarochaniyyah dan MA Nurul Huda di daerah Meteseh dengan jumlah santri sekitar 171 siswa. Setiap satu orang peserta fasilitator harus meng-handle tiga hingga empat orang santri. Peserta yang mendapatkan materi di hari pertama harus mengaplikasikan ilmunya mengenai HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi. Sebagai bentuk pemahaman akan materi yang diberikan oleh peserta fasilitator, para santri harus menuangkan kreativitasnya dalam bentuk media dengan bahan-bahan terbatas berupa koran, HVS berwarna, spidol, double-tip dan gunting. Media sederhana dengan isi pesan yang luar biasa hasil kerjasama antara peserta fasilitator dengan para santri pun terwujud. “Sebagai sesama manusia, kita tidak boleh mendiskriminasi ODHA. Dia sudah cukup menderita dengan penyakitnya, maka dari itu kita harus mendukungnya bukan menjauhinya karena dihadapan Tuhan, kita semua itu sama,” terang salah satu santri saat mempresentasikan hasil medianya.
Tidak harus kuat untuk menjadi seorang pahlawan. Kepedulian terhadap sesama lah yang membuat kita menjadi seorang pahlawan, tidak hanya di hadapan manusia tetapi juga di hadapan Sang Pencipta. Dengan berakhirnya acara Training Fasilitator tersebut, diharapkan akan muncul para fasilitator-fasilitator muda handal yang peduli terhadap sesama terlebih kepada ODHA. Karena aku bangga, aku tahu HIV/AIDS. Move For Health! (Galuh)
Post a Comment