Dilema “Kampoeng Dolanan”
Photo : Rino |
Yogyakrta (13/9). Seiring berkembangnya zaman, permainan tradisional yang dahulu dimainkan oleh orangtua dan kakek nenek kita dahulu semakin terancam keberadaannya. Ditengah terancamnya keberadaan permainan tradisional ditengah masyarakat, sebuah Desa di Yogyakarta yaitu Desa Pandes, yang awalnya merupakan kawasan yang tak jauh beda dengan desa lainnya kini berubah.
Perubahan itu terjadi sejak seorang tokoh masyarakat, Wahyudi, melihat potensi yang dimiliki desa Pandes.
Perubahan itu terjadi sejak seorang tokoh masyarakat, Wahyudi, melihat potensi yang dimiliki desa Pandes.
Desa Pandes yang beberapa penduduknya adalah pengrajin dolanan, kini berhasil dikembangkan oleh Wahyudi bersama komunitas “Pojok Budaya” menjadi sebuah Desa yang memiliki ciri khas. Ciri khas yang dimiliki Desa Pandes adalah memiliki Kampoeng Dolanan dan Lembaga Pendidikan Among Siwi.
Kampoeng Dolanan memiliki kurang lebih 15 orang pengrajin. Namun, sebagian besar dari mereka sudah berusia lanjut. Sayangnya, pengrajin dolanan tersebut tidak memiliki pewaris atas keahlian mereka. “Ya tidak ada penerusnya, mau gimana lagi anak jaman sekarang, kok!”, papar mbah Atemo, seorang pengrajin dolanan kiciran dalam bahasa Jawa halus. Senada dengan Mbah Atemo, Mbah Suradi dan Mbah Joyo juga menuturkan hal yang sama. Mereka telah berusaha untuk mewariskan keahlian membuat dolanan, namun usaha tersebut belum disambut baik. Sehingga, kini belum ada generasi penerus yang ahli dalam membuat dolanan.((DA/DF/ST/NA/FF/RU))
Post a Comment