Rokok, Lagi dan Lagi
Isu kenaikan harga rokok sedang menjadi perbincangan yang
hangat di kalangan masyarakat akhir-akhir ini. Dari yang pro hingga kontra
semuan bersuara mengenai isu ini. Rokok memang suatu hal yang sensitif dan
kontroversi. Semua kalangan memiliki persepsi tersendiri dengan rokok.
Kenaikan isu harga rokok ini pun salah satunya. Isu ini
terangkat setelah Kongres Indonesian Health Economics Association di Jakarta pada bulan lalu,
Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia mengumumkan hasil risetnya mengenai perokok akan berhenti
merokok, jika harga eceran rokok dinaikkan tiga kali lipat. Dan isu itu muncul
ke permukaan publik dengan pernyataan bahwa rokok akan mengalami kenaikan harga
hingga Rp 50000. Ini tentunya menimbulkan reaksi hebat dari semua kalangan
masyarakat. Naiknya harga rokok dinilai akan menurunkan angka perokok aktif dan
meningkatkan pendapatan negara. Seperti diketahui bahwa BPJS mengalami defisit
yang disebabkan oleh pelayanan dan penanganan terhadap penyakit tidak menular
yang mayoritas berasal dari rokok. Misalnya masalah kanker paru-paru.
Kemudian kenaikan harga rokok ini pun
disinyalir ada kepentingan tersembunyi yaitu masuknya rokok elektrik yang sudah
dikonsumsi beberapa kalangan. Dengan naiknya harga rokok biasa maka banyak
orang yang akan meninggalkannya dan beralih ke rokok elektrik yang notabennya
lebih hemat. Namun efeknya ke tubuh pasti lebih berbahaya, yang mana dapat
meningkatkan penderita penyakit tidak menular dan pastinya akan menguras
kembali anggaran BPJS. Menurut saya, jika kenaikan harga rokok ini dinilai
untuk menurunkan jumlah perokok aktif, maka ini bukan solusi. Dengan kenaikan
harga rokok yang ada akan meningkatkan angka kriminalitas. Karena seseorang
yang telah kecanduan terhadap sesuatu, tentunya dia akan melakukan apapun untuk
mendapatkan yang diinginkannya. Sehingga hal yang dapat dilakukan adalah dengan
mencegah orang untuk tidak merokok agar angka perokok aktif tidak meningkat.
Cara pencegahannya tentunya dengan segera Indonesia harus meratifikasi FCTC. FCTC
adalah Konvensi mengenai kerangka kerja pengendalian tembakau, yang dibuat
untuk menghadapi globalisasi epidemi tembakau. Perlu diketahui bahwa Indonesia
adalah salah satu pencetus FCTC. Akan tetapi, Indonesia satu-satunya negara di
Asia yang belum meratifikasi FCTC. Padahal FCTC sangat penting dalam strategi
pengendalian dan pengurangan permintaan terhadap produk tembakau.
Namun sebagian kalangan tidak setuju
dengan ratifikasi FCTC ini. Karena dengan Indonesia meratifikasi FCTC, maka dianggap
akan semakin meningkatkan angka pengangguran, semakin menyengsarakan para
petani terutama petani tembakau, dan menurunkan pendapatan negara. Menurut saya
anggapan ini tidak tepat, karena seperti yang kita ketahui bahwa pendapatan
petani terhadap hasil tembakaunya ini tidak seberapa. Jarang sekali petani
tembakau ini sejahtera dengan hasilnya. Karena harga tembakau petani
dikendalikan oleh para tengkulak. Selain itu, ternyata Indonesia juga mengimpor
tembakau. Jadi hal ini akan semakin menyengsarakan petani. Kemudian anggapan
tentang akan semakin banyak pegawai yang menganggur. Sebenarnya mayoritas
perusahaan rokok ini telah menggunakan tenaga mesin. Jadi seiring berkembangnya
teknologi, tenaga orang telah tergantikan dengan tenaga mesin. Karena memang
tenaga mesin lebih efektif, efisien, dan cepat. Jadi sebelum diratifikasi FCTC
pun tenaga orang telah minim dalam perusahaan rokok.
Selanjutnya anggapan jika Indonesia
ratifikasi FCTC akan menurunkan pendapatan negara, maka itu tidak tepat.
Meskipun Indonesia mendapatkan banyak pemasukan dari perusahaan rokok, akan
tetapi di lain sisi seperti BPJS mengalami defisit karena banyak menangani
penyakit yang disebabkan oleh rokok. Misalnya infeksi paru. Jadi pendapatan
negara dari rokok ini malah belum mampu menutupi biaya pemerintah untuk sektor
kesehatan yang disebabkan oleh rokok. (Nina Puji Lestari)
Post a Comment