Pojok Kreasi; Atmospherian
Matahari
baru nampak sepenggalah. Dengan kaos berwarna gelap dan celana training,
berbekal sebuah karung goni aku bersama belasan orang lainnya bersiap mencebur
ke sungai.
“Hati-hati,
ya! Licin soalnya,” seru seorang lelaki bertubuh kurus pada semua orang yang
telah berdiri di pinggiran sungai dengan celana yang sudah basah. Kami dibagi
dalam beberapa kelompok dan disebar ke beberapa titik sungai. Setelah
menempatkan diri berdasar posisi yang telah ditentukan sebelumnya, setiap orang
mulai membungkukkan badan, menyusuri sungai lalu memungut sampah dan
memasukannya dalam karung.
Ini adalah
kali pertama untukku, mencebur ke sungai (hanya) untuk membersihkan sampah. Aku
yakin kamu belum pernah, bukan? Aku beritahu padamu! Sungai yang berair coklat,
mungkin dari atas terlihat sebatas itu, tidak ada yang menarik. Tapi jika kamu
mau mencari tahu apa saja yang ada di dasarnya, kamu akan terheran-heran sama
halnya denganku. Dasar sungai menyimpan berbagai macam sampah yang bahkan
mungkin tidak pernah terpikir olehmu. Plastik? Biasa. Sisa makanan? Biasa. Yang
aku temukan adalah kasur! Aku sungguh tidak mengerti lagi dengan masyarakat di
sekitar sungai ini. Dengan mudahnya mereka menjadikan sungai ini sebagai tempat
sampah hanya karena alasan-alasan sepele seperti malas membuang sampah ke TPA
(Tempat Pembuangan Akhir) dan tidak mau
membayar iuran untuk petugas kebersihan.
Dan lebih mengherankan lagi, meski telah tertimpa banjir akibat murkanya
sungai ini, masyarakat tidak pernah berubah. Bodoh!
“Seneng ya
jadi bebek, bisa bebas ke bagian manapun di sungai ini,” gumamku tatkala
melihat sepasang bebek sedang berenang di tengah sungai.
“Makanya
jadi anak jangan macam liliput, jadi
bisa nyusulin bebek itu, Zyt. Hahaha,” ledek Kak Raja yang memiliki tubuh
jangkung. Aku mengerucutkan bibir yang disusul tawa geli Kak Raja dan
orang-orang lain di dekatku.
Tidak
satupun dari kami yang mengeluh. Meski harus berkotor-kotor, memungut sampah
yang kadang begitu menjijikan, melawan arus sambil menjinjing sekarung penuh
sampah dan tidak jarang pula terpeleset. Yang aku lihat hanya wajah-wajah
gembira dan canda tawa melingkupi kami.
Sekitar
satu setengah jam kemudian, sungai sudah tampak lebih bersih dari sebelumnya.
Karung-karung sampah sudah dinaikkan ke pick
up dan matahari mulai menerik.
“Ayo
semuanya naik!” Seru Kak Egi selaku pemimpin kegiatan sekaligus ketua komunitas
ini. “Segera bersihkan tangan dan kaki kalian, ganti baju, lalu kita akan
istirahat dan makan bersama,” lanjutnya. Semua orang bergegas menuruti
perintahnya, termasuk aku. Aku berjalan di bagian belakang, dekat Kak Egi.
Lelah juga ternyata membersihkan sungai.
“Hey, Gi!
Udah macam bebek aja lo. Hahaha. Masih mau aja lo dan kawanan lo kayak begini,”
seorang lelaki tiba-tiba muncul dan meledek ketua kami. Aku memerhatikannya
dengan sedikit dongkol. Apa maksud perkataannya tadi?! Kak Egi tampak biasa
saja, bahkan ia memberikan sesungging senyum untuk lelaki itu.
“Yang
mereka lakukan mungkin sederhana, tapi mereka jauh lebih hebat dibanding dirimu
yang hanya bisa meledek saja dan terus turut andil merapuhkan tempat tinggalmu
sendiri,” ucap Kak Egi.
“Kalian ini
orang-orang pilihan di kampus kalian, guys.
Kenapa kalian mau kotor-kotoran begini cuma buat mungutin sampah?”
“Kami ingin
menyelamatkan bumi!” Tegas Kak Egi. Namun sepertinya lelaki di samping Kak Egi
belum berniat mengakhiri ledekannya.
“Menyelamatkan
bumi? Macam Superman? Hahaha,” ia terbahak pada hal yang menurutku tidak ada
lucunya sama sekali. Ingin aku menimpuknya supaya dia segera pergi dari sini.
Kak Egi
terlihat merapat ke lelaki itu lalu tersenyum dan merangkulkan tangannya ke pundak
temannya itu. “Sepertinya aku perlu memberitahumu mantra andalan kami,” ucap
Kak Egi yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. Ia akan mengucapkan
kalimat yang paling aku suka dari komunitas kami.
“Lo ngga
harus jadi Superman buat menyelamatkan bumi!” Kak Egi mengatakannya dengan
lantang dan tegas, membuat lelaki di sampingnya tersenyum dan mengakhiri
pekerjaan kurang pentingnya; meledek kegiatan bersih sungai komunitas kami.
Aku
terkesan dengan Kak Egi dan belasan orang yang kini tengah sibuk membersihkan
diri mereka. Sekelompok kecil yang melakukan hal begitu besar. Sekelompok kecil
yang mempunyai visi menghijaukan bumi dan membirukan langit. Aku bangga dengan
mereka yang tergabung dalam kelompok ini. Mereka tidak hanya menempati satu
ruang dalam kehidupanku yang kuberi nama pahlawan, mereka pun menjadi bagian
dari penyelamat bagi bumi yang mulai merapuh ini. Merekalah, Atmospherian!
Orang-orang yang tergabung dalam komunitas peduli bumi; Atmosphere.
Karya : Arina Azmi Azyta
Post a Comment