90th Day, Gate 7
09.15 AM, Gate 7
Kursi ruang tunggu terasa lebih dingin
lima menit yang lalu. Di tambah orang-orang dengan koper besar mereka mulai
memenuhi ruangan, menambah riuh suasana dan terkesan terburu-buru yang semula
senyap. Deretan stan kios di belakangku juga mulai ramai dihampiri. Kebanyakan
hanya membeli mie instant dalam cup atau kopi yang harganya hampir dua kali
lipat aslinya, namun tidak ada yang peduli.
Aku tidak membawa koper sama sekali.
Tas ransel berukuran besar pun tidak. Hanya sebuah buku tulis bersampul kulit
sintetis berwarna cokelat gelap dengan bau aneh yang tidak pernah menggangguku.
Tangan kananku memainkan pulpen hitam dengan mengetuk-ngetukannya diatas
halaman yang terbuka, kosong, dan hanya berbubuhkan tanggal hari ini. Belum
terpikirkan sama sekali apa yang akan kutulis.
“panggilan terakhir untuk penumpang
dengan nomor penerbangan 277 tujuan Jakarta, dipersilahkan naik ke pesawat
udara melalui pintu nomor 7.” Suara wanita berwibawa dan terkesan ramah itu bergema
di sepanjang koridor. Sepasang suami-istri berlarian sambil menuntun seorang anak
lelaki berumur 4 tahun dengan memasang wajah panik.
“cepat, Pa. Nanti ditinggal.” Teriak
sang istri. Tidak hanya aku, calon penumpang lain juga menahan senyum melihat
keluarga kecil itu.
“tenang saja, Ma. Tidak mungkin
ditinggal.” Sang suami menjawab dengan polos, namun tidak menurunkan kecepatan
berlari mereka. Setelah pegawai bandara merobek boarding pass mereka, sang istri mengelus dada dan sang suami
mengangkat anak mereka sampai ke pesawat melalui garbarata. Pintu 7 sudah
tertutup, dan si perobek boarding pass
menghampiriku.
“pagi-pagi sudah ada hiburan, Dis?”
katanya sambil tersenyum lebar dan duduk disampingku.
“Selalu seperti itu. padahal kalau
mereka belum naik pesawat, nama mereka pasti dipanggil lebih dulu. Tidak akan
ditinggal.” Jawabku menahan senyum. Pria itu tertawa kecil.
“namanya juga panik. Pemikiran sudah
tidak jernih.” Balasnya. Aku menunduk tersenyum, tidak menambahkan komentar
apapun. “tumben terlambat lima belas menit, Dis.”
“Tidurku tidak nyenyak semalam. Alhasil
terlambat bangun.” Jawabku, masih dengan kepala menunduk, memandang kertas
kosong di pangkuan.
“Sekarang sudah 87 hari, Dis.
Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini lagi.” Katanya pelan. Kepalaku
terangkat. Ku pandang matanya dalam-dalam.
“Sebenarnya sudah 89 hari, Dit. Dan
masih belum cukup.” Ujarku pelan. Pria dua tahun lebih tua dariku, yang kukenal
dengan Yudit Pass itu memandang penuh
arti. Tangannya meraih tanganku. ia memutar badannya, sepenuhnya kearahku.
Dengan kaki kiri bersila diatas paha kanannya.
“Kau tidak bisa terus disini.
Pulanglah. Lanjutkan hidupmu.” Katanya. Aku tersenyum lembut.
“Aku baik-baik saja. Suatu hari aku
akan berhenti, tetapi tidak hari ini.” balasku. Yudit Pass melepas genggamannya sambil berdiri.
“Kuharap begitu.” Katanya sambil
berlalu. Ia kembali ke tempatnya merobek boarding
pass penumpang. Aku menghela napas panjang.
Aku membuka tutup penaku, dan mulai
menulis beberapa kata. Enam kaki
berlari-lari, sepasang roda mengikuti. Meramaikan ruangan berkursi besi,
menunggu baja membawanya pergi. Aku berhenti menulis, memikirkan baris
berikutnya. Lalu dengan gerakan bersamaan, dua orang duduk di sampingku,
mengapit diriku terlalu dekat.
“Bento,
Adis?” tanya wanita di sebelah kananku. Aku menggeleng. “Ya sudahlah,
kumakan saja.”
“Hei, kok dimakan sendiri? Bisa saja Adis belum sarapan.” Tegur wanita di
sebelah kiriku. Sambil memukul paha temannya. Aku tertawa.
“Santai saja, Bel. Aku sudah sarapan.
Mungkin Mita belum.” Kataku. Mita di kananku memasang wajah mengejek Bela. Aku
mengenal mereka berdua dengan Bela dan Mita Mart.
Mereka berdua berseragam merah dengan logo minimart di dada kiri.
“Sudah sarapan atau belum, semuanya
dimakan oleh Mita. Sampai manajer marah.” Kata Bela dengan nada ketus.
“OB juga manusia.” Mita menirukan lagu
rock kondang dengan lirik yang diubah.
“Kau bukan OB, Mit.” Balasku. Mita yang
masih mengunyah nasi menjawab dengan mulut penuh.
“Agar nadanya pas. Tidak mungkin liriknya
‘pegawai mini market juga manusia’. Terlalu panjang.” Aku dan Bela tertawa
lepas, Mita memasang wajah sombong sambil terus mengunyah.
“Apa kabar, Dis?” tanya Bela. Suaranya
menjadi pelan dan sensitif. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab.
“Baik, Bel. Masih menunggu.” Kataku.
Mendengarnya, Mita menelan suapannya barusan dengan usaha keras. Ia kemudian
menampar pelan bahuku.
“Sampai kapan, Dis? Kami bosan melihat
wajahmu. Duduk di kursi yang sama, dengan buku yang sama, wajah yang sama, baju
yang sama...” aku memotong ucapan Mita.
“Aku selalu mengganti baju, Mita.
Lagipula, aku tidak memiliki banyak baju untuk dipakai 89 hari berturut-turut.”
Kataku. Mita menyambar cepat.
“Itu hanya metafora, Dis. Kau terlalu banyak
membuang waktu disini. Sejak penerbangan pertama sampai penerbangan terakhir.”
Mita memain-mainkan tangannya, menjelaskan perkataannya. “sudahi saja.”
“Itu kata-kata andalanmu sejak hari
ke-70.” Balasku.
“Dan sudah dua puluh kali kau
mengacuhkannya.” Ujar Mita pelan. Ia menolehkan pandangannya ke belakang, ke
arah kiosnya. Wajahnya berubah panik. “Sial, ada pelanggan.” Ia lalu berdiri.
“kenapa kau tidak memilih tempat duduk menghadap kios saja, Dis? Itu akan lebih
memudahkan kami.” Aku tertawa melihatnya berjalan cepat ke arah kios.
“Harus kuakui, Mita ada benarnya. Aku
lanjut bekerja ya, Dis.” Kata Bela dan beranjak pergi.
Aku berdiri dari tempat dudukku menuju
toilet wanita. Aroma kamper berbau buah-buahan langsung memburu penciumanku.
Toilet berpintu kaca buram itu terisi penuh, namun tidak ada antrian. Aku
langsung mencuci wajahku di wastafel. Merenungkan kembali semua perkataan
teman-temanku membuat kepalaku pusing. Aku tahu mereka benar berkata seperti
itu. Tetapi aku masih belum bisa meninggalkan tempat ini. Masih terbayang wajah
lelaki itu.
Renunganku terbuyarkan oleh suara kunci
bilik toilet yang terbuka. Aku buru-buru keluar dari toilet dan kembali ke
tempat dudukku. Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali untuk kembali ke alam
sadar. Aku menarik napas dan mulai menulis lagi. Belum sempat satu huruf
tertulis, ada suara lain mengagetkanku.
“Adis Adis wahai Adis.” Kata pria
sebayaku itu, muncul dengan gayanya seperti biasa, topi hitam menutupi dahinya
penuh, dan bekas luka bakar di pipinya akibat pesta tahun baru.
“Halo, Sam.” Balasku. Pria yang kukenal
dengan Sam Sonite itu meluncur duduk
di sebelahku. Gerak-gerik lucunya membuatku tertawa bahkan sebelum ia mulai
berbicara.
“Ingatkan lagi, mengapa kau disini?”
katanya tanpa basa basi. Kaki kanannya secara konstan bergerak cepat.
“Sudah 88 kali aku mengingatkanmu,
Sam.” Ujarku sambil tersenyum. Sam menghela napas panjang.
“Dan sudah 88 kali juga aku lupa
mengapa.” Sam tersenyum tanpa arti.
“Aku menunggu seorang pria yang
kucintai. Karena di hari terakhir kami bertemu, aku baru menyadari bahwa dia
juga mencintaiku. Tapi sayang, di hari itu juga...”
“.. dia pergi naik pesawat entah
kemana.” Kalimat terakhirku diikuti oleh Sam dengan sama persis.
“Sudah tiga bulan, Dis. Mau sampai
kapan?” lagi-lagi pertanyaan itu. Seketika aku kesal.
“Memang sudah tiga bulan, tetapi dia
tidak kunjung kembali. Salahkah aku jika terus menunggu? Lagipula aku menunggu
disini di saat libur sebelum masuk kuliah. Dan aku selalu membawa buku ini
untuk menulis puisi yang selalu kukirim ke redaksi tabloid dan mendapat honor
yang lumayan. Jadi aku tidak sepenuhnya membuang waktu di sini.” Ujarku panjang
dan cepat dengan nada ketus. Sam melihatku heran. Dia tetap diam. Aku menarik
napas panjang, lalu dia mulai bicara.
“Aku akan pergi besok.” Katanya, sambil
membuang pandangan ke depan. Lebih tepatnya ke arah landasan pacu yang terlihat
dari tempat kami duduk, melalui jendela tanpa teralis dan tidak bisa terbuka.
“Pergi? Ke mana?” tanyaku heran. Sam
tidak melihat ke arahku saat menjawab.
“Jakarta. Sekolah disana. Ada sekolah
marketing yang menjanjikan. Sekalian menjaga opa yang sudah tua.” Jawabnya.
Sesungguhnya aku ingin menanyakan hal
lainnya, tapi rasa kesalku masih ada. Aku memilih diam.
“Saat aku sudah pergi, aku yakin tidak
bisa tenang mengingat dirimu yang masih menunggu lelaki itu, duduk di ruang
tunggu, melewati penjagaan dengan mengatasnamakan ayahmu, dan termenung selama
delapan jam.” Kata Sam. Dia masih belum merubah posisi, masih melihat ke depan.
Aku menjawab dengan malas.
“Aku akan baik-baik saja.”
Jawabku. Aku terdiam panjang. Suara di
kepalaku semakin menjadi. Akhirnya aku menyodorkan buku tulisku kepada Sam.
Dengan wajah heran, ia menatapku dan mengambil buku itu dari tanganku.
“Apa maksudmu?” tanyanya, sambil
memegang erat buku itu dengan kedua tangannya.
“Aku berhenti. Aku tidak menunggu
lagi.”
“Tunggu, mengapa terburu-buru?
Maksudku, tiba-tiba kau menyerah?” Sam bingung setengah mati. Dia memutar
badannya ke arahku, dengan posisi kaki seperti Yudit pass sebelumnya.
“Yudit, Bela, Mita, dan kau benar.
Semua ini tidak ada gunanya. Mungkin lebih baik aku berhenti. Mungkin semuanya
salahku, aku terlalu terlambat mengerti. Aku menyesal. Tapi aku tidak akan
membiarkan penyesalan itu menghalangiku. Bahkan mungkin saja pria itu tidak
memikirkanku lagi.” Di akhir kalimat, suaraku melemah. Aku sedih, tetapi
seluruh tubuhku mencoba untuk kuat.
Sam tersenyum bangga padaku. “Aku yakin
pria itu tidak bisa melupakan wanita sepertimu. Dan aku yakin dia pasti
menyesal telah mengecewakanmu.” Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan Sam.
Ia kemudian merogoh sesuatu dari sakunya. Secarik kertas yang terlipat. “Aku
tahu kau akan berhenti kemari dan berharap. Tapi jika suatu saat kau bertemu
pria itu, bacalah surat dariku.”
Aku mengambil kertas itu dan tersenyum.
Sam tertawa kecil. “I’m gonna miss you.” Katanya. Aku tertawa lepas melihat wajahnya
yang sedih berlebihan. Ia membuka lengannya selebar mungkin, dan memelukku. Aku
merasakan hangatnya kasih yang ia tunjukkan. “Setidaknya kepergiannya membuatku
mengenalmu.” Bisikku. Aku merasakan ia tersenyum di belakang kepalaku.
Sam melepas pelukannya ketika ketiga
teman kami datang dengan wajah merona. “Manisnya kalian berdua...” ujar mereka
kompak sambil berdeham. Aku dan Sam langsung mengelak dari godaan mereka bertiga.
Mita dan Bela duduk dengan manja berbarengan di sebelah kiriku, memaksa satu
tempat duduk untuk diduduki berdua. Yudit berjongkok di sebelah kaki Sam. Mita
dan Yudit masing masing memberiku dan Sam secangkir kopi. Kami berlima memegang
kopi yang sama buatan Bela dan Mita.
“Untuk apa pelukan yang barusan?” tanya
Bela penasaran. Aku dan Sam bertatapan sejenak, sambil melempar senyum.
“perpisahan.” Kata Sam. Ketiga temanku
itu memasang wajah bingung.
“Sam akan pergi ke Jakarta besok. Dan
ini adalah hari terakhirku menunggu pria itu. kalian tidak akan melihat
wajahku, kecuali aku benar-benar naik pesawat.”
Yudit dan Bela bersorak pelan dan
mengucapkan betapa bangganya mereka denganku. Mita memasang wajah kaget sambil
memandang Sam sambil memanjangkan tangannya untuk memukul pundak Sam
berkali-kali. Hari itu dilanjutkan dengan tawa kami berlima mengisi ruang
tunggu yang penuh dengan orang yang terburu-buru. Aku tidak tahu perpisahan
bisa sebahagia ini.
15.00 PM, Parking Lot.
Sam mengantarkanku sampai ke mobil.
Sedangkan ketiga temanku lanjut bekerja. Kabarnya penerbangan terakhir hari ini
delay karena cuaca buruk, sehingga
mereka harus bekerja lebih lama. Sam membukakan pintu pengemudi. Kata kata
terakhirnya sebelum aku masuk ke mobil adalah : “Datanglah besok, di hari
ke-90. Antar aku sampai pergi pukul 09.00.”
09.00 AM, Gate 7.
Aku berjalan cepat menyusuri koridor menuju Gate 7. Aku bersemangat untuk
memulai hari yang baru esok hari. Aku melihat Mita, Bela, dan Yudit di ujung
koridor, berkumpul di minimart. Wajah mereka tidak terlihat sebahagia diriku.
Aku memendekkan langkahku, memperlambat tempo jalanku sampai ke tempat mereka.
Ketika mereka menyadari kedatanganku, mereka berbaris di hadapanku. Aku semakin
bingung dengan wajah sedih mereka.
“Teman-teman? Ada apa?” aku sungguh
tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mita dan Yudit terlihat tenang. Bela
memainkan jari-jarinya karena gugup.
“boleh kami bertanya sesuatu?” Bela
terlihat sangat takut. Aku mengangguk serius. Bela memukul punggung Mita pelan.
Mita mengambil langkah mendekatiku.
“Coba sebutkan nama kami.” Kata Mita.
Aku mengernyitkan dahi, semakin bingung. Mita membaca wajah bingungku.
“sebutkan nama lengkap kami. Atau yang kau tahu saja.” Lanjutnya. Aku menarik
napas.
“Oke, um..” aku masih ragu dengan
pertanyaan Mita, mengapa ia menanyakan hal sepele seperti itu dengan wajah yang
tidak bisa dianggap bercanda. “ Yudit Pass,
karena tugasmu merobek boarding pass. Bela
Mart dan Mita Mart karena kalian bekerja di kios minimart.” Yudit tersenyum
dengan bibirnya, tidak dengan hatinya. Bela menahan kesedihannya, namun Mita
tetap tenang.
“Sam?” tanya Mita. Aku lupa menyebutkan
nama Sam, karena Sam tidak disana.
“Um.. yang ini sedikit lucu. Sam Sonite karena ia pegawa kios koper.” Aku
masih bisa sedikit tertawa dengan apa yang kukatakan barusan. Wajah Bela
berubah drastis. Ia terlihat sedih dan kecewa, terdengar dari desahannya
barusan. Yudit memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mita
masih terlihat tenang.
“Sam sudah berangkat satu jam yang
lalu.” Kata Mita. Aku terkejut dan
melihat ke arah jam tanganku. Aku yakin datang tepat waktu, dan memang benar
tepat waktu.
“Sam bilang penerbangannya pukul 09.00.
dan sekarang masih jam 09.05. seharusnya ia masih disini.” Kataku. Mereka
bertiga saling melihat satu sama lain. “Apa? Mengapa kalian bertingkah aneh?
Dan apa maksudnya kalian bertanya tentang nama?”
“Adis, kami tidak pernah bertanya
tentang pria yang kau tunggu selama ini. Namanya, fotonya, kami tidak tahu.”
Kata Bela dengan suara yang benar-benar sedih. Bahkan pelupuk matanya mulai
basah. “siapa nama pria itu?”
“Hisham.” Jawabku.
Wajah Mita, Bela, dan Yudit selama satu
detik terlihat sama. Jika wajah mereka mencerminkan perasaan hati, maka
deskripsi yang tepat adalah hati mereka hancur. Tetapi aku masih tidak mengerti
kenapa.
“Hari ulang tahunnya 14 Desember?”
tanya Yudit, masih memejamkan matanya. Kelihatannya ia tidak senggup melihat
wajahku.
“Iya.” Jawabku singkat.
“terakhir kau tahu, ia ke bandara ini,
tetapi kau tidak pernah benar-benar tau
kemana ia pergi?” tanya Bela. Ia menyatukan tangannya, mengunci jari-jarinya,
dan suaranya bergetar.
“Iya.” Jawabku lagi. Aku masih tidak
mengerti.
“Dia punya.... Luka bakar di wajahnya.”
Kata Mita. Wajahku berubah, aku tertawa kecil.
“Untuk yang itu kalian salah.” Kataku
sambil terus memandangi wajah sedih mereka. Mita mengambil satu langkah
mendekatiku. Tangannya mencengkram lengan atasku, membuatku menatap tajam
matanya.
“Dia memiliki luka bakar di wajahnya.”
Aku menyadari bahwa barusan Mita tidak bertanya. Perlahan Mita melepas
cengkramannya. Yudit merangkul Bela yang semakin menangis. Aku memandang mreka
bergantian. Tiba-tiba dadaku sesak.
Mataku tiba-tiba basah. Napasku tiba-tiba tidak beraturan.
Aku menangis. Aku bahkan tidak tahu
kenapa. Tetapi hatiku tahu. Dan dia enggan memberitahu apa yang tidak kulihat
dengan mataku. “Buka suratnya.” Kata Mita. Air mataku mengalir ke bibirku. “Kau
sudah menemukannya.”
09.30 AM, Parking Lot.
Sudah dua puluh menit aku menatap
kosong surat pemberian Sam. Aku takut untuk mengetahui kebenaran yang ada. Tetapi
aku berjanji pada ketiga temanku untuk membacanya hari ini. aku menarik napas
panjang dan membuka surat itu. Suara kertas yang bergesekan membuat jantungku
berpacu semakin kencang. Aku memejamkan mata sejenak untuk mengumpulkan
keberanian. Dalam hati, aku mengatakan sesuatu berulang-ulang. Tuhan, kumohon jangan. Ku buka mataku.
Adis, saat kau membaca ini, aku ingin meminta maaf atas dua
hal. Yang pertama, karena aku tidak membiarkanmu mengantarku sampai pintu
keberangkatan, karena aku tidak tahan membayangkan yang mungkin terjadi. Yang
kedua, aku meminta maaf atas 90 hari ini. betapa aku tidak bisa muncul dan
mengatakan hal sebenarnya. Aku senang kau mengenalku sebagai Sam, bukan pria
pengecut yang kau tunggu. Satu hal yang mungkin akan menjelaskan semuanya : aku
tidak pernah naik ke pesawat 90 hari yang lalu. Aku kembali ke toko koperku.
Yang kau tahu adalah aku entah pergi kemana. Maaf aku hanya memberimu surat
berisi puisi murahan yang membuatmu lama mengerti hari itu. Kau harus tahu betapa aku menyesal,
aku tidak tahu perasaanmu terhadapku, sampai akhirnya luka di wajahku
menyembunyikan sosok Hisham dalam ingatanmu. Ketahuilah aku menyayangimu. Jika
kita masih bisa bertemu,aku ingin memulai dari awal. Kau tahu aku dimana.
Aku mengangkat kepala. Tersenyum dan
menangis di saat yang sama. Mengetahui 90 hariku tidak sia-sia. Tetapi
menyadari betapa diriku lambat mengerti, bahwa selama ini dia ada di depanku,
tetapi aku masih memilih untuk tidak menyadarinya.
10.35 AM, Arrival Gate.
Aku berdiri di bagian bandara yang
berbeda, di bandara yang berbeda. 850 KM jauhnya. Aku tidak hanya membawa buku
kecil, tetapi juga koper dan ransel besar. Besok perkuliahan di mulai. Aku
menunggu taksi kosong lewat di depanku. Mobil demi mobil lewat, tidak satupun
yang akan kunaiki. Mataku memandangi pengemudi yang tidak terlihat wajahnya,
sesama penumpang yang berpelukan dengan keluarganya. Dan seseorang yang berdiri
di hadapanku. Terhalang jalan, terpisah aspal, tetapi dekat rasanya. Dia sudah
tidak memakai topi lagi. Wajahnya semakin jelas diingatanku. Ia berjalan
perlahan ke arahku. Dunia ini seakan berputar lebih lambat, tangannya langsung
terbuka dan memelukku erat. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang sekencang
milikku. Aku bisa merasakan tubuhnya tersedu. Aku berbisik pelan.
“Sam.”
Ia melepas pelukannya. Wajah merahnya
seketika tersenyum. “kau sadar aku ini Hisham kan?”
“I
prefer Sam.” Kataku tersenyum. Sam ikut tersenyum. “but I love you both.”kami berjalan bersama menuju mobil Sam.
Post a Comment