What's On March? Intip Pesan Moral Dalam Film The Help
Ada
yang tahu topik apa yang sedang hangat-hangatnya di awal bulan Maret ini? International Women's Day! 8 Maret lalu
tepatnya hari itu diperingati. Bukan hal yang aneh jika melihat para wanita berbondong-bondong
mengeluarkan aspirasinya akan keadilan. Akan tetapi selain hal di atas, saya
punya sebuah saran untuk sejenak melonggarkan penat. Sebuah film yang
mengangkat perihal perjuangan wanita dan isu sosial diskriminasi ras yang
dikemas secara apik. Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel debut karya
Kathryn Stockett yang memiliki judul sama dengan filmnya sendiri, “The Help”.
“Change begins
with a whisper”,
sebuah kalimat pembuka dalam posternya membuat saya tertarik untuk melihat
lebih jauh skrip yang tertuang dalam film “The Help”. Ada satu fakta unik
selain kutipan poster yang membuatnya menarik, bahwa Kathryn Stockett
memerlukan waktu 5 tahun untuk menyelesaikan dan ditolak oleh 60 penerbit!
Namun pada akhirnya novel ini diterima dengan baik dengan pembuktiannya gelah
terbit di 35 negara, diterjemahkan ke dalam 3 bahasa. Sedangkan filmnya sendiri
yang rilis pada tahun 2011 telah menerima 4 nominasi Academy Award.
Singkatnya
sebuah kisah mengenai penulis wanita muda, Eugenia Phelan, yang baru saja
menyelesaikan studinya di New York. Ia kembali ke kampung halamannya dan
melihat sebuah keadaan kritis yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Sebuah
diskriminasi para asisten rumah tangga berkulit hitam oleh majikannya ras kulit
putih. “The Help” mungkin mengangkat isu yang sudah banyak sekali didengar
apalagi di daerah Amerika sendiri dimana negara tersebut menjadi latar dalam
kisah ini, tepatnya di Kota Jackson.
Satu
hal miris dalam kisah ini yang membuat saya menggelengkan kepala, para asisten
rumah tangga dengan ras kulit hitam tidak diperbolehkan menggunakan toilet yang
sama dengan majikannya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut dapat
mendatangkan penyakit. Mereka bahkan tidak boleh bersentuhan.
Kisah
ini diambil dengan latar tahun 60an dengan tokoh mayoritas wanita. Selain
mengisahkan bagaimana isu rasisme pada masa itu, film ini lebih berfokus pada
Eugenia Phelan atau Skeeter yang diperankan oleh Emma Stone. Ia bercita-cita
menjadi seorang jurnalis atau novelis atau bahkan keduanya.
Skeeter
tergetar hatinya untuk menuliskan kisah-kisah para asisten rumah tangga
tersebut atas perlakuan yang mereka terima dari majikannya. Skeeter bersama dua
asisten rumah tangga yang dipekerjakan temannya, Elizabeth dan Hilly, mulai
merangkap bukunya secara diam-diam. Karena pada masa itu hal yang dilakukan
Skeeter sangat melanggar hukum.
Film
ini menjadi menarik bagi saya di Bulan Maret ini dengan kisah para wanita yang
berjuang menegakkan keadilan baginya. Bagaimana rasisme yang seharusnya
dihapuskan dan mengajak para wanita yang pada masa itu menjadi faktor utama isu
itu berkembang untuk berpikir lebih kritis dan menentang rasisme dalam segi
apapun.
Meski
mengambil aktor dan aktris yang tidak terlalu terkenal dan dengan latar cerita
jadul yang mungkin bagi sebagian orang akan membosankan dan kurang wow jika
dilihat pada zaman sekarang. Namun justru topik yang diangkat dalam kisah ini
memiliki daya tarik yang hebat di samping faktor lainnya. “The Help” dibuat
menarik dengan celotehan jenaka salah satu tokoh asisten rumah tangga yang
membantu Skeeter dalam penulisan bukunya, yakni Minny. Serta pesan-pesan
inspiratif yang diutarakan Aibileen dalam dialognya, salah satu dari dua
asisten rumah tangga tersebut pula.
Perjuangan
mereka membuahkan hasil yang luar biasa hingga sampai puncaknya film ini.
Penegakkan hak asasi dari sebuah usaha kecil yang dilakukan mereka menjadi
sebuah titik terang dalam kehidupan di kota Jackson pada masa itu. Terlebih
seiring berjalannya waktu, para gadis muda yang banyak mengemban ilmu semakin
tinggi juga semakin terbentuk pola kritis dalam pikirannya. Bahwa sebuah hak asasi sesama
manusia adalah hal yang lebih berharga daripada hubungan sosial semu yang hanya
diukur leh status sosial, ras, dan kekayaan.
“Tuhan
mengajarkan kita untuk mencintai musuh kita, itu sulit dilakukan. Tapi itu bisa
dimulai dengan memgatakan kebenaran. Tak ada yang pernah menanyakanku bagaimana
rasanya menjadi diriku. Setelah kuberitahukan kebenaran tentang itu, aku merasa
bebas,” tutup dialog oleh Aibileen pada akhir kisah.
Sumber
: kompasiana.com
(Zatidniyah)
Post a Comment