Opini; Menghadapi Orang Tua BM (Banyak Mau)
Minggu ini, Aku
dipaparkan oleh beberapa fakta tentang bagaimana keresahan dan kebimbangan keinginan
seorang anak yang tidak sejalan dengan pemikiran orangtua, baik itu Ayah atau
Ibu atau keduanya.
Mungkin tak aneh
bagiku, sebab pada beberapa hal Aku pernah dihadapkan dengan kasus paralel yang
membuatku menjadi terdiam dan merenung sejenak. Aku berfikir dan berkaca atas
keadaanku saat itu. Apakah Aku kurang bersyukur?
Qadarallah, pelajaran
itu datang dari teman dekatku sendiri. Baiklah Aku akan mulai dengan kasus yang
pertama.
Ada seorang anak yang
masih berstatus mahasiswa tingkat 2 dan sedang mengalami quarter life crysis.
Ia bingung dengan eksistensinya sekarang. Berkuliah di salah satu jurusan beken
di kampusnya, namun ia belum tau sebenarnya apa yang ia tuju. Ia bercerita
padaku tentang kegundahan hatinya mengenai ekspektasi orangtuanya pasca kuliah
nanti. Orangtuanya ingin dia langsung kerja, karena mengadopsi cerita
inspiratif dari salah seorang tetangganya yang sukses setelah ia digaji dan
dikuliahkan lagi oleh sebuah perusahaan ternama di tempatnya bekerja. Jadi
patokannya ada pada tetangganya tsb. Anak ini bercerita tentang keinginannya
untuk melanjutkan studinya lepas kuliah S1 nanti, tapi ia dilema apakah harus
mengikuti ‘jalan tetangganya’ atau memilih sendiri dan siap dengan segala
konsekuensinya.
Kasus kedua. Ada
seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan tugas
akhirnya. Ia sedang dilanda kegalauan sebab program yang sedang ia buat menemui
jalan buntu. Dosen pembimbingnya belum bisa memberikan solusi atas hal
tersebut. Atas usul temannya, Ia mengakhiri kegalauannya dengan cara menelfon
Ayahnya. Ia pun mencurahkan segala hal tentang tugas akhirnya itu. Namun
ekspektasinya berbalik, ia semakin resah bukannya semakin tenang. Ayahnya
bilang kalau program yang ia rancang untuk tugas akhirnya itu ‘kurang
bermanfaat” alias kurang WOW dalam
perspektifnya. Ia dibanding-bandingkan dengan salah seorang mahasiswa IT* yang
mampu merancang program bermanfaat untuk umat dan membanggakan almamaternya. Ia
semakin tertekan dan di satu sisi mencoba berpikir optimis bahwa programnya
akan ada manfaatnya.
Kasus ketiga. Ia adalah
seorang mahasiswa fresh graduate dan sedang mencari pekerjaan untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah ditimba selama 4 tahun berkuliah. Ia percaya
bahwa konsep rezeki itu sudah Allah yang menentukan. Ia berikhtiar dengan
menaruh proposal lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan. Motivasinya untuk
mendapat pekerjaan yaitu mengumpulkan uang agar dapat membiayai uang sekolahnya
nanti (S2). Namun di satu sisi, ia juga ingin berkreatifitas dengan berbagai
bakat dan keahlian yang ia miliki. Ia berharap dengan kesukaannya tersebut, ia
bisa menghasilkan sesuatu. Namun hal ini tidak sejalan dengan kemauan Ibunya.
Prestige akan jurusan kuliahnya dan prestasi anaknya tersebut membuat sang Ibu
berekspektasi lebih. Ia ingin anaknya masuk ke perusahaan besar seperti
kebanyakan anak sahabatnya. Banyak hal di kepalanya yang sudah ia rancang untuk
masa depannya, namun hal tersebut seperti diberi bom atom dan siap dihancurkan
sewaktu-waktu oleh maklumat yang diberikan oleh Ibunya.
Mengamati kasus-kasus
tersebut, apa yang ada di dalam benakmu?
Ada kecemasan orangtua
dalam memandang masa depan anaknya.
Entah itu apa yang ada di dalam pikiran masing-masing orangtua. Tapi kita,
sebagai anak (mengambil sudut pandang sebagai anak) wajib sadar bahwa tidak ada
yang salah dari kecemasan yang dialami para orangtua. Mungkin memang seperti
itu dilematisnya menjadi orangtua. Tidak akan membiarkan anaknya sengsara
apalagi untuk urusan masa depan. Oleh karena itu mereka memiliki alternatif
yang dirasa aman untuk dipilih anaknya. Kita juga perlu sadar bahwa mereka
hidup lebih dulu daripada kita. Jadi, bijaklah terhadap sikapnya kepada kita.
Pahami itu sebagai kewajaran yang nantinya akan kita hadapi juga. Tapi yang
harus kita kritisi selanjutnya adalah tentang kebebasan menentukan pilihan. Kita
bebas menentukan pilihan masa depan seperti apa yang kita inginkan. Kita pun
bebas menentukan untuk apa dan bagaimana waktu yang akan kita habiskan menuju
impian kita tersebut.
Bukankah kita sudah
cukup bisa berpikir secara logis dan matematis? lantas apa pembelajaran yang
kita dapatkan selama bersekolah kurang lebih 14-16 tahun ini? Mungkin keadaan
ini tidak akan sama untuk semua orang. Lalu kemana kemampuan berkomunikasi,
negosiasi, dan lobbying dalam organisasi yang selama ini kita geluti di
perkuliahan? Memang seharusnya pelajaran itu perlu diuji mulai dari dalam
rumah, khususnya untuk orang yang selama ini hidup lebih lama dengan kita.
Jangan salahkan
orangtua yang terus menerus menuntutmu menjadi sesuatu, tapi pertanyakan dalam
dirimu apa peranmu untuk mengubah nasibmu dan orang-orang di sekitarmu!
Mereka hidup di
zamannya, yang apa-apa serba susah. Tapi beda dengan zaman kita yang apa-apa
serba mudah. Apa usaha lebih yang bisa kita kontribusikan di era seperti
sekarang? Mungkin itu menjadi bahan refleksi diri agar kita tak banyak mengeluh
bahkan mengutuk perkataan orangtua yang tidak pernah mengerti kita. Mungkin
kita yang memang kurang berkaca pada diri sendiri dan kurang peka dengan
fenomena di sekitar kita. (Octavia Winarti)
Post a Comment