Masa Muda Mahasiswa, Depresi yang Menghantui
Menjadi
mahasiswa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri merupakan sesuatu yang membuat
kita bertanya-tanya. “Mau jadi apa saya nanti? Bagaimana kehidupan saya kelak
setelah lulus?” Kadang-kadang sebagai mahasiswa pertanyaan-pertanyaan sejenis
itu menjadi semacam pelengkap existential crisis di malam hari, kecemasan
menjelang ujian, ketakutan saat memulai hal baru, stress saat mendapat nilai
kuis jelek, dan lain-lain. Ditambah keadaan homesick bagi para mahasiswa yang merantau jauh dari
rumah. Rasanya sepenggal lirik “All we are is dust in the wind” dari Kansas
benar-benar terasa sekali.
Walaupun
terkadang mengakunya tidak apa-apa sebenarnya kekhawatiran terhadap hal-hal
kecil ini terus menumpuk. Menjadi lebih banyak yang dikhawatirkan, menjadi
lebih banyak yang ditakuti, hingga berdampak kepada kehilangan fokus, lelah
mental, lelah fisik dan jadi lebih susah bersosialisasi. Kemudian berujung
kepada depresi.
Depresi
pada mahasiswa juga erat kaitannya dengan penggunaan media sosial. Dalam
penggunaannya, secara tidak langsung perbandingan-perbandingan antara kehidupan
orang lain yang dilihat lebih baik dan kehidupan diri sendiri yang dirasa
biasa-biasa saja, sering kali dibuat. Entah itu ketika melihat teman yang sudah
lulus, teman yang lebih sukses, dan lain-lain.
Kalau
sudah benar-benar merasa tidak nyaman dengan diri sendiri maupun orang lain,
hal yang bisa dilakukan adalah berkonsultasi dengan psikolog, dosen, orang tua
dan orang-orang yang dirasa bisa dipercaya. Namun, depresi tidak hanya jadi concern
bagi orang yang mengalami depresi itu sendiri. Kita yang merasa sehat, juga
harus memperhatikan keadaan teman-teman disekitar kita, dan sebisa mungkin
menolong mereka. (Afifah)
Post a Comment