Kekerasan Seksual dan Urgensi Penanganannya
sumber : unsplash |
Apa dan bagaimana Kekerasan Seksual?
Kekerasan sering terjadi di kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sosial tempat hidup kita. Kekerasan seksual umumnya menimpa orang-orang yang tergolong rentan seperti wanita, disabilitas, dll. Menurut WHO, kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Secara bahasa dan konsep sendiri, kekerasan seksual merupakan istilah yang cakupannya lebih luas daripada pelecehan seksual.
Menurut Komnas Perempuan sendiri, terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, tetapi dalam RUU PKS Komnas Perempuan merumuskannya menjadi 9 bentuk, antara lain yaitu pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi. Menurut Komnas Perempuan bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi dua jenis, yaitu fisik dan non fisik. Untuk non fisik yaitu catcalling, mengintip bagian intim korban, mengeluarkan alat kelamin di depan umum, mengucapkan atau merendahkan melalui kata-kata, membicarakan aktivitas seksual tanpa persetujuan, jika di dunia kerja seorang karyawan perempuan yang menolak kencan performa kerjanya diturunkan. Sedangkan yang fisik antara lain memeluk, menyentuh, dan mencium tanpa izin.
Kekerasan tidak memandang gender, tidak hanya perempuan, laki-laki pun dapat mengalami tindak kekerasan seksual, dan yang perlu digarisbawahi bahwa siapa pun subjek korban kekerasan ataupun pelecehan seksual tetap tidak bisa dibenarkan oleh alasan apa pun. Minimnya catatan mengenai laporan kasus kekerasan seksual disebabkan oleh kurang tersebarnya pemahaman dan empati dalam masyarakat untuk melawan balik pelaku dan membela korban. Bahkan pihak-pihak seperti kepolisian yang berwenang untuk menindaklanjuti dalam aspek hukum, pada banyak kasus memilih untuk tidak melanjuti disebabkan oleh berbagai alasan, salah satunya yang sering terjadi yaitu tidak adanya bukti dan keinginan oknum tersebut untuk empati lalu berpihak membela korban, bahkan ada banyak juga yang sampai tidak mendengarkan keluhan dan cerita korban.
Menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini, meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentu dapat membuktikan bahwa masih lemahnya perlindungan hukum maupun produk hukum yang dapat menjadi tindakan preventif terhadap berbagai kejadian kejahatan seksual dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan hukum terkait kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, tetapi secara substansi menurut banyak pihak ternyata masih memiliki banyak kekurangan dan juga kurangnya implementasi, sehingga dianggap belum bisa menjadi payung hukum terhadap kejadian-kejadian kekerasan seksual, yang mudahnya dapat dikatakan bahwa regulasi terkait kekerasan maupun pelecehan seksual ini jelas sekali belum efektif.
Kasus kekerasan Seksual di Indonesia
Kasus kekerasan seksual memiliki rubrik berita sendiri di situs berita Indonesia, dan terdapat berita hariannya. Hal ini membuktikan jumlah kasusnya di Indonesia sangat tinggi per harinya. Tanpa adanya perlindungan yang memadai dari hukum, insiden ini terus terjadi. Buruknya lagi bahkan sering kali korban tidak berani melaporkan pelaku pada pihak berwajib. Alasannya cukup beragam mulai dari takut dan rasa malu. Ditambah kejadian beberapa tahun belakangan, para korban pelecehan dan kekerasan seksual, malah mendapatkan hukuman pidana yang diajukan oleh para pelaku, dengan dalih pencemaran nama baik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus. Sedangkan di tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni, terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kemudian jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.
Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Berdasarkan data Komnas Perempuan, jumlah pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Pada 2020 terdapat 2.945 laporan yang tercatat. Sementara selama 9 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatatkan setidaknya ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus namun disembunyikan atas nama baik kampus. Fenomena ini seperti gunung es karena angka tersebut bisa saja lebih besar dari yang terlaporkan, banyak yang tidak berani melapor.
Berdasarkan penelitian, dosen pria dan mahasiswa pria tidak menyebut kekerasan seksual sebagai masalah di kampus. Sementara banyak mahasiswi dan dosen perempuan yang justru menyatakan kekhawatiran terbesar mereka adalah kekerasan seksual di kampus. Mereka menganggap pelecehan seksual merupakan pelanggaran etika yang paling buruk.
Contoh kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan baru-baru ini lantaran seorang mahasiswi Universitas Riau yang mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. Ia dicium pipi dan keningnya oleh sang dosen saat bimbingan skripsi. Korban juga mengaku dipegang pundaknya oleh dosen tersebut.
Kampus sebagai ruang aman Kekerasan Seksual
Kampus seharusnya menjadi tempat yang sehat, termasuk bebas dari perundungan dan kekerasan seksual. Namun faktanya tindakan pelecehan seksual pun kerap terjadi di lingkungan kampus. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan tersebut direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat perempuan sebagai sesama manusia.
Sampai hari ini, belum ada data konkret mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Data yang berhasil dihimpun dari kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, Vice, dan Jakarta Post menunjukkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan, mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunung es yang jauh lebih banyak yang tidak tampak dari apa yang dilihat. Data tersebut menunjukkan 1 dari 2 korban mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali.
Dari 174 kasus tersebut, hanya terdapat 29 korban yang berani melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Hal ini berarti masih banyak korban yang kemudian memilih untuk diam dan tidak berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya baik kepada pihak kampus maupun pihak kepolisian. Ketimpangan gender serta relasi kuasa menjadi salah dua faktor yang melanggengkan terjadinya kekerasan seksual di kampus. Korban kekerasan seksual merasa terpaksa, tidak berani menolak atau hanya diam ketika mengalami pelecehan seksual lantaran pelaku biasanya pihak yang berkuasa. Hal ini membuat kampus, sebagai institusi pendidikan, dituntut untuk memberikan ruang aman bagi mahasiswa, dan menguatkan payung hukum mengenai pelecehan seksual, agar tercipta ruang yang kondusif untuk semua bentuk aktivitas pendidikan di dalamnya.
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ini, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual yang dilarang, baik itu dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Terbitnya Permendikbud ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal dari semua penyelesaian mengenai segala macam kasus kekerasan seksual di kampus. Menjadi tugas bagi kita semua untuk mengawal proses pengimplementasian dan proses pelaksanaan regulasi ini dalam proses perkuliahan sehari-hari. Bahkan jika perlu, menjadi bagian langsung dalam proses penegakan Permendikbud PPKS No. 30 Tahun 2021 ini. (Sospol BEM FKM Undip)
Kekerasan sering terjadi di kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sosial tempat hidup kita. Kekerasan seksual umumnya menimpa orang-orang yang tergolong rentan seperti wanita, disabilitas, dll. Menurut WHO, kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Secara bahasa dan konsep sendiri, kekerasan seksual merupakan istilah yang cakupannya lebih luas daripada pelecehan seksual.
Menurut Komnas Perempuan sendiri, terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, tetapi dalam RUU PKS Komnas Perempuan merumuskannya menjadi 9 bentuk, antara lain yaitu pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi. Menurut Komnas Perempuan bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi dua jenis, yaitu fisik dan non fisik. Untuk non fisik yaitu catcalling, mengintip bagian intim korban, mengeluarkan alat kelamin di depan umum, mengucapkan atau merendahkan melalui kata-kata, membicarakan aktivitas seksual tanpa persetujuan, jika di dunia kerja seorang karyawan perempuan yang menolak kencan performa kerjanya diturunkan. Sedangkan yang fisik antara lain memeluk, menyentuh, dan mencium tanpa izin.
Kekerasan tidak memandang gender, tidak hanya perempuan, laki-laki pun dapat mengalami tindak kekerasan seksual, dan yang perlu digarisbawahi bahwa siapa pun subjek korban kekerasan ataupun pelecehan seksual tetap tidak bisa dibenarkan oleh alasan apa pun. Minimnya catatan mengenai laporan kasus kekerasan seksual disebabkan oleh kurang tersebarnya pemahaman dan empati dalam masyarakat untuk melawan balik pelaku dan membela korban. Bahkan pihak-pihak seperti kepolisian yang berwenang untuk menindaklanjuti dalam aspek hukum, pada banyak kasus memilih untuk tidak melanjuti disebabkan oleh berbagai alasan, salah satunya yang sering terjadi yaitu tidak adanya bukti dan keinginan oknum tersebut untuk empati lalu berpihak membela korban, bahkan ada banyak juga yang sampai tidak mendengarkan keluhan dan cerita korban.
Menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini, meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentu dapat membuktikan bahwa masih lemahnya perlindungan hukum maupun produk hukum yang dapat menjadi tindakan preventif terhadap berbagai kejadian kejahatan seksual dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan hukum terkait kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, tetapi secara substansi menurut banyak pihak ternyata masih memiliki banyak kekurangan dan juga kurangnya implementasi, sehingga dianggap belum bisa menjadi payung hukum terhadap kejadian-kejadian kekerasan seksual, yang mudahnya dapat dikatakan bahwa regulasi terkait kekerasan maupun pelecehan seksual ini jelas sekali belum efektif.
Kasus kekerasan Seksual di Indonesia
Kasus kekerasan seksual memiliki rubrik berita sendiri di situs berita Indonesia, dan terdapat berita hariannya. Hal ini membuktikan jumlah kasusnya di Indonesia sangat tinggi per harinya. Tanpa adanya perlindungan yang memadai dari hukum, insiden ini terus terjadi. Buruknya lagi bahkan sering kali korban tidak berani melaporkan pelaku pada pihak berwajib. Alasannya cukup beragam mulai dari takut dan rasa malu. Ditambah kejadian beberapa tahun belakangan, para korban pelecehan dan kekerasan seksual, malah mendapatkan hukuman pidana yang diajukan oleh para pelaku, dengan dalih pencemaran nama baik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus. Sedangkan di tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni, terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kemudian jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.
Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Berdasarkan data Komnas Perempuan, jumlah pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Pada 2020 terdapat 2.945 laporan yang tercatat. Sementara selama 9 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatatkan setidaknya ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus namun disembunyikan atas nama baik kampus. Fenomena ini seperti gunung es karena angka tersebut bisa saja lebih besar dari yang terlaporkan, banyak yang tidak berani melapor.
Berdasarkan penelitian, dosen pria dan mahasiswa pria tidak menyebut kekerasan seksual sebagai masalah di kampus. Sementara banyak mahasiswi dan dosen perempuan yang justru menyatakan kekhawatiran terbesar mereka adalah kekerasan seksual di kampus. Mereka menganggap pelecehan seksual merupakan pelanggaran etika yang paling buruk.
Contoh kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan baru-baru ini lantaran seorang mahasiswi Universitas Riau yang mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. Ia dicium pipi dan keningnya oleh sang dosen saat bimbingan skripsi. Korban juga mengaku dipegang pundaknya oleh dosen tersebut.
Kampus sebagai ruang aman Kekerasan Seksual
Kampus seharusnya menjadi tempat yang sehat, termasuk bebas dari perundungan dan kekerasan seksual. Namun faktanya tindakan pelecehan seksual pun kerap terjadi di lingkungan kampus. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan tersebut direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat perempuan sebagai sesama manusia.
Sampai hari ini, belum ada data konkret mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Data yang berhasil dihimpun dari kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, Vice, dan Jakarta Post menunjukkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan, mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunung es yang jauh lebih banyak yang tidak tampak dari apa yang dilihat. Data tersebut menunjukkan 1 dari 2 korban mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali.
Dari 174 kasus tersebut, hanya terdapat 29 korban yang berani melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Hal ini berarti masih banyak korban yang kemudian memilih untuk diam dan tidak berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya baik kepada pihak kampus maupun pihak kepolisian. Ketimpangan gender serta relasi kuasa menjadi salah dua faktor yang melanggengkan terjadinya kekerasan seksual di kampus. Korban kekerasan seksual merasa terpaksa, tidak berani menolak atau hanya diam ketika mengalami pelecehan seksual lantaran pelaku biasanya pihak yang berkuasa. Hal ini membuat kampus, sebagai institusi pendidikan, dituntut untuk memberikan ruang aman bagi mahasiswa, dan menguatkan payung hukum mengenai pelecehan seksual, agar tercipta ruang yang kondusif untuk semua bentuk aktivitas pendidikan di dalamnya.
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ini, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual yang dilarang, baik itu dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Terbitnya Permendikbud ini bukanlah akhir, melainkan langkah awal dari semua penyelesaian mengenai segala macam kasus kekerasan seksual di kampus. Menjadi tugas bagi kita semua untuk mengawal proses pengimplementasian dan proses pelaksanaan regulasi ini dalam proses perkuliahan sehari-hari. Bahkan jika perlu, menjadi bagian langsung dalam proses penegakan Permendikbud PPKS No. 30 Tahun 2021 ini. (Sospol BEM FKM Undip)
Post a Comment