Mimpi dari Kintha
Kalau Jumat sore punya
sorakan menang dan atensi akan datangnya dua hari setelahnya dengan lengkungan
tipis pada wajah sebagian banyak orang, Kintha punya pesona dalam diam yang
tanpa ia sadar telah menenggelamkan seseorang dalam lubang sendu tanpa arah.
Kintha, buku mimpi kamu belum selesai.
Beribu hari menulis lembaran
baru dalam tiap langkah telah memberikan mereka banyak sentuhan damai saat
senyum terukir. Mulutnya kerap kali membentuk pergerakan meskipun tak sebanyak
kata yang dikeluarkan oleh Niel, tetapi eksistensi atas definisi bahagia mampu
menjadikan suasana jauh lebih istimewa menurut keduanya.
“Kintha, Mars akan terima kehadiranku gak ya kalau aku berhasil
mendarat di permukaannya?”
“Kintha, kenapa bulan ingkar? kenapa titik terjauhnya tak selalu
sama?”
Nielio Elard, dengan berjuta pertanyaan yang selalu disambut senyum tipis
oleh lawan bicaranya, sosok yang telah menemaninya tiga tahun lamanya walaupun
dengan waktu obrolan yang sangat singkat.
Kenangan keduanya terlalu
banyak untuk dapat ditulis dalam buku harian Niel.
Kenangan mereka tak cukup
untuk diluapkan dalam lafalan kata melalui mulut manis Niel, mengesampingkan
fakta dan predikat ceria yang selalu ia pegang.
Kenangan mereka juga tak
akan cukup untuk memenuhi coretan nakal jari Niel pada iPad kesayangannya.
Kenangan mereka cukup untuk
menggores nyata luapnya awan yang memenuhi indahnya lautan biru di atas manik
tajamnya.
Manis? Retoris menurutnya.
Belum ada kata pahit pada hubungan persahabatan keduanya sampai kala itu, kala
pertemuan kedua senja di bulan April, saat ia kehilangan raga seseorang tanpa
jejak tersisa.
Kinantha Astara, perwujudan nyata dari bagaimana pada dasarnya raga tak selalu
mampu wujudkan seluruh prospek impian di dalam benak. Fisiknya mulai rapuh
sejak beberapa tahun silam, tak punya sisipan kata senggang untuk melakukan hal
lain selain terus dalam jangkauan arti kata produktif di kamus hidupnya.
Harinya terorientasi dengan banyak mimpi di luar sana yang tangan kecilnya ingin
raih. Niel, sebagai sahabat satu-satunya, tak punya banyak hak kuasa atas waktu
istirahat Kintha yang tak kunjung berikan tanda surplus. Niel, sebagai orang
yang melihat wajah kintha jauh lebih banyak dari orang tuanya sendiri, hanya
bisa mengeluarkan nafas berat setiap netra nya menemukan butir pil, gel pereda
nyeri otot, dan inhaler di setiap pergerakan sahabatnya itu.
“Kintha, kita nonton yuk? Hari jumat sore kok, bisa kan?”
15 detik berlalu, Niel putar
kepalanya menuju sang lawan bicara yang masih lengkap dengan beberapa berkas
miliknya. Hanya helaan nafas Niel yang menemani suasana kelas yang penuh dengan
sorakan siswa lain di tengah momentum terbaik bagi kebanyakan siswa, jam
kosong.
“Kintha? Gak bisa ya?” Tanya Niel.
Sedikit tersentak, kintha
berikan beberapa detik singkat untuk menatap netra sahabatnya sebelum kembali
terfokus dengan benda-benda yang tak Niel tahu kapan akan tunjukkan kata usai.
“Hari Sabtu ada deadline submit berkas Summer school tahun ini,
kapan kapan aja ya?”
Pada awalnya ia tahu
skenario apa yang akan datang padanya dengan pertanyaan sekaligus ajakan tadi,
seorang Kinantha menghabiskan waktu dengan hal bodoh-menurut kintha-seperti
mengunjungi bioskop? Mungkin dapat ia ajukan untuk masuk kedalam keajaiban
dunia yang baru.
Niel tak tahu pasti mengenai
semua kegiatan dan impian-impian Kintha yang sepertinya tak berikan sang wanita
muda rasa puas, toh piala dan juga
medali sudah menjadi hal biasa untuk ditemukan di kamar Kintha. Yang ia tahu
pasti, Kintha tak berikan fokus lebih pada hal lain diluar akademiknya,
termasuk pertanyaan apakah raganya dapat terima semua perintah, apakah fisiknya
mampu berikan kontribusi nyata dalam tangga meraih semua mimpinya?
Kintha tak pernah peduli
itu, begitupun sampai kala hari Jumat datang.
Niel putuskan menghabiskan
waktu bersama Alan, tak sedekat hubungannya dengan Kintha, tetapi tak bisa
munafik kalau ia butuh teman bercengkrama sehabis beberapa minggu hidupnya
hanya dipenuhi pemandangan bangku cokelat dan papan tulis. Nama Ashlan tercetak
pada seragam rapih sang pemuda, sosoknya tak banyak bicara, sedikit timbulkan
kontradiksi dengan figur Niel yang jarang absen timbulkan lengkungan senyum di
wajah.
“Kenapa, Niel?” Wajah niel menunjukkan sedikit tanda tanya.
“Lan, Kintha tuh kenapa sih? What bring her to be like this,
kenapa harus dipaksain semua sih?”
Alan yang tak begitu paham
dengan situasi keduanya memilih untuk memberi anggukan singkat, Toh
kecerdasan sang ambisius Kinantha sudah tak diragukan lagi. Yang Alan
ketahui, Kintha tak pernah absen dari seluruh kesempatan mengenai akademika.
Namun, dengan mata tajam dan menelisik, Alan dengan mudah dapat menarik sebuah
kalimat atas pertanyaan Niel padanya tadi. Kintha, dengan beberapa buku di
tangan dan inhaler yang jarinya genggam sambil berlari kecil menuju toilet
wanita lantai 2 sekolahnya. Dari sudut pandang Niel, sebagai teman yang baik,
selagi keseluruhan skenario Kintha atas mimpi-mimpinya bisa terwujudkan, kenapa tidak?
“Akan datang waktunya fisik Kintha kibar bendera putih kan,
Lan?” Manik Niel masih tatap ke arah bawah, ke koridor lantai dua
saat Kintha keluar masih dengan inhaler dan tumpukan buku di genggaman.
Jumat kala itu, Niel masih
dalam rencana menikmati waktu pulang sekolah bersama Alan, keduanya masih asik
di arena arcade menikmati waktu luang
dengan garis lengkungan yang terbentuk dari bibir keduanya.
Niel termasuk dalam tipikal
yang tak ingin rusak kebersamaan bersama orang lain hanya dengan notifikasi
yang ikut hadir menemani waktu emasnya. Ia tak mau eksistensi gawai mendominasi
waktunya bersama orang lain, itu prinsip Nielio.
Sesuai dengan prinsipnya,
Niel fokuskan atensi nya pada malam itu untuk kegiatan penjernihan
pikiran-begitu ia menyebutnya-bersama Alan. Lampu teater sudah mulai dimatikan,
kedua pemuda telah menyamankan diri pada kursi empuk dengan atensi penuh pada
layar besar di hadapan. 30 menit berlalu, Niel sadar atas beberapa interupsi
dari gawai miliknya, ia sempatkan untuk alihkan perhatiannya pada notifikasi
yang muncul beberapa menit sebelum langkahnya menuju kedalam ruangan teater.
Maniknya menelisik kata demi kata yang tersampirkan di layar, alisnya mulai
mengerut implikasi tanda tanya yang mulai menyeruak. Pada detik yang sama, Alan
sadar dengan lagak Niel yang membatu di hadapan layar.
Ashlan, kita ke rumah sakit sekarang.
Itu Kintha, Kinantha Astara
yang Niel kenal. Kinantha Astara dengan senyumnya yang tipis namun berarti,
Kinantha Astara yang tak pernah absen bersama buku-buku tebalnya, Kinantha
Astara yang ambisius akan semua mimpi mimpinya, tanpa mengenal apapun halangan
yang siap untuk menghalanginya di hadapan. Itu Kintha, berbaring di salah satu
kasur bangsal ICU rumah sakit, dengan berbagai selang yang terpasang dan
(BINGUNG) di sekitarnya. Niel tak punya cukup pengetahuan mengenai tajuk
alat-alat yang menyertai sahabatnya di
sana, yang ia ketahui hanya bendera putih fisik Kintha telah berkibar tanda
akan menyerah.
Belum ada tanda kehadiran
orang tua Kintha, hanya Niel yang menunggu di sofa luar bangsal, tepat di depan
Lift mengingat bangsal ICU punya jam kunjungan khusus. Banyak orang dan perawat
berlalu lalang dengan tatapan menelisik juga sendu melihat siswa sekolah
menengah atas dengan seragam lengkap dan wajah pucat tatapan kosong sedang
duduk di sofa tunggu ICU. Niel tak peduli dengan batapa menyedihkannya
penampilannya sekarang, ia hanya peduli kapan Kintha bisa keluar dari ruangan
tersebut dengan lengkap, dengan seutuhnya Kintha yang ia kenal sebelumnya tanpa
ada kurang sedikitpun, tanpa sebulir tetesan yang keluar dari manik indahnya.
4 jam duduk tanpa kejelasan,
Niel mulai kesal dengan keadaan. Walaupun otaknya tak begitu mengerti dengan
prosedur yang ada, ia tahu bahwa dokter tak punya hak tindakan lanjutan atas
pasiennya tanpa persetujuan wali. Beribu jam yang telah berlalu belum beri niel
tanda akan kehadiran orang tua Niel, kuasa yang ia pegang hanya sebagai
penunggu pasien, bukan penetu nasib dan tindakan atas Kintha. Miris? Biarkan
tangis yang mulai turun dari mata Niel jawab pertanyaan ini.
Tuhan, siapa sangka tatapan sendu Niel pada Kintha sebelum
keluar toilet lantai 2 tadi siang
merupakan kali terakhir ia mentap sahabatnya hirup limpahnya oksigen?
Kala itu, pertemuan kedua
senja di hari Jumat dengan bulan April, fisik Kintha pilih tutup buku
mimpi-mimpinya secara paksa, meninggalkan banyak serpihan angan yang belum
sempat ia raih.
Niel tak pernah benci Jumat,
hari penuh dambaan semua orang yang siap siaga sambut akhir pekan, juga sebagai
tanda mulainya bahagia atas lepasnya beberapa beban di pundak. Kali ini, Niel
benci Jumat, ia benci bagaimana hari yang indah itu rebut salah satu permata
temaram yang pernah hadir eksistensinya di dunia. Ya, pernah hadir.
Niel tak mampu tulis
bagaimana persahabatan keduanya ubah bagaimana dirinya buka pandangannya atas
besarnya dunia, Kintha membuka banyak celah yang sebelumnya belum pernah
disentuh olehnya. Mimpi-mimpi kintha terlalu banyak untuk ia sebutkan satu
persatu.
Kintha, buku mimpi kamu belum selesai. Ucapnya sambil terduduk di
depan proses kremasi sahabatnya. Fisiknya tak kuat ikut hadir di samping peti
mati sang sahabat. Seharusnya kintha hadir pada technical meeting dari summer
school yang ingin ia ikuti sejak lama, tetapi siapa yang sangka Tuhan punya
rencana lain?
Rabu sore di minggu berikutnya,
dengan awan yang kian menutupi celah intipan Sang surya sebelum kembali
berpulang dan akhirnya datang dengan binarnya esok pagi. Niel masih tak
beranjak, hanya duduk dengan pandangan kosong. Bedanya, tak ada lagi eksistensi
tetesan air yang keluar dari ujung matanya.
Pandangan kosong, rahang
yang kian mengeras implikasi emosi yang belum sempurna meledak melalui fisik
rapuhnya.
“Kalau kamu pergi selamanya, harusnya aku bisa nyusul kan?” (Arifah Farsyah Riyandini)
Post a Comment