Korupsi dan Gratifikasi: Menghancurkan Kesejahteraan Bangsa! Perjuangan Tak Boleh Surut!
Sumber: Google
Korupsi dan gratifikasi adalah penyakit yang telah merajalela di kalangan pejabat, merugikan negara dan rakyat. Melawan kedua hal ini adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Meski sudah diberikan hukuman, tetap saja kejahatan ini masih terjadi. Tindakan korupsi dan gratifikasi merupakan contoh dari penyelewengan jabatan yang dapat merugikan bagi negara. Bangsa yang maju merupakan bangsa yang bebas dari korupsi dan penyelewengan kekuasaan.
Gratifikasi dapat menjadi salah satu bentuk korupsi apabila memenuhi beberapa ketentuan yang berkaitan dengan jawaban, bertentangan dengan kewajiban, dan dapat memengaruhi suatu keputusan. Gratifikasi dapat menjadi salah satu faktor dalam timbulnya konflik baru dan merusak citra aparat negara.
Baru-baru ini kembali terjadi penangkapan terhadap salah satu eks pejabat bea cukai yang diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 58,9 M. Jumlah yang sangat fantastis dan tentunya dapat merugikan negara. Jaksa telah menjatuhkan pidana dengan hukuman penjara 10 tahun 3 bulan serta denda sebesar Rp 1 miliar. Ia menerima dana tersebut melalui transfer rekening dan tidak hanya dengan rekening pribadinya. Jaksa menyebutkan bahwa setidaknya ada 9 rekening yang digunakan untuk melancarkan kejahatannya ini.
HUKUM TAJAM KEBAWAH TUMPUL KE ATAS
Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebut penerima gratifikasi dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika dilihat dari jumlah gratifikasi yang diterima oleh eks pejabat tersebut, tentu hukuman yang diterima masih belum sebanding dengan apa yang telah ia lakukan. Banyak kasus-kasus pencurian yang dilakukan oleh rakyat miskin dengan jumlah yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan jumlah gratifikasi yang diterima oleh eks pejabat bea cukai tersebut namun mendapatkan hukuman yang berat.
Jika kita melihat kembali ke belakang, kasus nenek Asyani yang dituding mencuri 7 papan kayu jati yang akan digunakannya untuk dijadikan tempat tidur untuknya. Nenek Asyani membantah tudingan tersebut dengan dalih bahwa kayu jati tersebut diambil dari lahannya sendiri yang diberikan oleh mendiang suaminya. Nenek Asyani divonis hukuman 1 tahun penjara dengan denda sebesar 500 juta rupiah. Tentu hal ini menimbulkan kontroversi dan mengundang empati masyarakat.
Sebagai negara hukum, sudah seharusnya mampu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan seadil-adilnya tanpa ada interupsi dari pihak manapun dan tanpa memandang kasta sosial masyarakat. Namun, kenyataannya hukum di Indonesia dinilai masih belum bisa memberikan keadilan kepada rakyat kecil dan cenderung ‘tumpul’ kepada para pejabat dan individu yang memiliki kekuasaan. Banyak rakyat miskin yang masih menjadi korban dari ketidakadilan penegakkan hukum di negara ini.
Di Indonesia, masalah korupsi memang telah menjadi perhatian yang serius selama bertahun-tahun. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi korupsi, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penerapan berbagai undang-undang anti-korupsi, bukti-bukti pelanggaran korupsi masih terjadi di berbagai sektor.
Korupsi bukan merupakan sesuatu yang ‘baru’ dilakukan oleh para pejabat negara. Para pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi terkadang mendapatkan hukuman yang tidak sesuai dengan kerugian yang telah diperbuat dengan berdalih mereka ‘sopan’ ketika persidangan dan lainnya yang dilakukan untuk meringankan masa hukuman. Korupsi yang merupakan tindak kejahatan hanya akan menciptakan kesenjangan sosial, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Korupsi yang dilakukan hanya akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kemiskinan dan masalah sosial ekonomi lainnya di masa yang akan datang. Korupsi merupakan pandemi, kita tidak bisa hanya dengan mengatakan “tidak” terhadap korupsi, diperlukan tindakan yang dapat membuat jera para pelaku korupsi.
PERJUANGAN UNTUK MELAWAN KORUPSI TIDAK BOLEH BERHENTI KARENA ITULAH SATU-SATUNYA CARA UNTUK MELINDUNGI INDONESIA DARI TIKUS-TIKUS BERDASI YANG MERUGIKAN DAN MENGHAMBAT PERKEMBANGAN NEGERI INI. HANYA ADA KATA “LAWAN, LAWAN, DAN LAWAN”.
HIDUP MAHASISWA !
HIDUP RAKYAT INDONESIA !
Referensi :
Post a Comment