[Review Buku] Seruan Feminisme dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Sumber: GoogleSemua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka...
Nawal el-Saadawi, seorang dokter dari Mesir sekaligus penulis feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisannya. Novel Perempuan di Titik Nol menjadi salah satu karya Saadawi untuk menyuarakan feminisme demi menegakkan keadilan bagi perempuan dan memutuskan rantai patriarki. Novel ini terbit pertama kali di tahun 1975 dengan menerima berbagai reaksi dari masyarakat Mesir. Meski zaman terus berkembang, persoalan tentang ketidakadilan gender masih menjamur di kehidupan sosial dan rasanya novel Perempuan di Titik Nol masih terasa relate dengan keadaan sekarang.
Novel Perempuan di Titik Nol menceritakan kisah pilu dari seorang perempuan bernama Firdaus yang hidupnya harus berakhir dengan hukuman mati. Sejak kecil Firdaus hidup dan tumbuh di keluarga yang kental akan patriarki. Pertama, Firdaus hidup dengan Ayahnya yang seorang petani miskin egois, tidak bertanggung jawab, suka 'memperbudak' dan melakukan kekerasan terhadap Ibunya dan Firdaus. Firdaus pernah meminta makanan kepada Ayahnya yang menikmati makanan itu sendirian tapi malah mendapat balasan pukulan di jari-jarinya. Setelah kedua orang tua Firdaus tiada, Firdaus hidup dengan Pamannya. Mirisnya, Firdaus dilecehkan oleh Pamannya sendiri tanpa dia sadari. Meski Paman Firdaus terkesan baik dengan bermurah hati membiayai hidup dan sekolah Firdaus, tindakan asusila yang dilakukannya kepada keponakannya sendiri tidak dapat diterima oleh moralitas.
Penderitaan Firdaus makin bertambah ketika Pamannya menjodohkannya dengan Syekh Mahmoud atas usulan istrinya. Firdaus yang masih berusia belasan tahun dijodohkan dengan seorang kakek duda berusia lebih dari enam puluh tahun, sungguh ironis nasibnya. Mungkin akan lebih baik jika duda tersebut memperlakukan Firdaus dengan baik, tapi sepertinya 'patriarki' terus menggerayangi hidup Firdaus. Firdaus harus menerima nasib buruk dengan mendapatkan suami yang pelit dan tidak sungkan untuk memukulinya.
Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.
Nasib-nasib buruk yang menimpa Firdaus membawanya menjadi seorang PSK. Selama itu, Firdaus telah mengalami lika-liku yang berkali-kali menggoreskan luka di hidupnya. Firdaus sering kali bertemu dengan laki-laki tak bermoral yang tidak bisa menjaga hawa nafsunya. Laki-laki yang datang di hidup Firdaus tidak ada yang bisa dipercaya, sekalipun laki-laki revolusioner yang terlihat cerdas dan bijak. Hingga suatu hari, Firdaus bertemu dengan seorang germo yang memaksanya untuk menikah dengannya. Firdaus yang berusaha melarikan diri harus berakhir di jeruji besi karena insiden 'pembelaan diri'. Firdaus dijatuhi hukuman mati setelah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.
"Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan."
Kisah hidup Firdaus menjadi sebuah media dalam membongkar budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Kekerasan, pelecehan, diskriminasi sering dialami oleh kaum perempuan. Tidak ada ruang 'bebas' dan 'aman' bagi kaum perempuan. Masalah pelik itu tak seharusnya dibiarkan terus berkembang beriringan dengan perkembangan zaman. Keadilan gender harus ditegakkan tanpa menyalahi kodrat dari masing-masing gender.
Novel Perempuan di Titik Nol menjadi novel yang cocok dibaca bagi yang tertarik dengan isu-isu ketidakadilan gender. Penulisan dengan sudut pandang pertama oleh penulis membawa pembaca ikut merasakan apa yang dialami oleh tokoh cerita. Bahasa yang digunakan dalam novel terjemahan terkesan kurang 'nyaman', tapi masih enak untuk dibaca. Novel Perempuan di Titik Nol bukan hanya sebagai perantara untuk kisah Firdaus, tapi juga sebuah seruan feminisme untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan gender. (Safira)
Post a Comment